Rabu, 09 Januari 2008

MIMBAR :

Membangun Kesalehan Sosial.
Musim haji telah usai. Seluruh jemaah haji Indonesia telah kembali ke tanah air.
Begitu juga rombongan jemaah haji asal Kotawaringin Barat (Kobar) yang tergabung dalam kloter 11 Embarkasi Solo.
Meski tidak berbarengan, seluruh jemaah haji asal Kobar, Lamandau dan Sukamara telah kembali dalam keadaan selamat.
Perasaan bahagia dan suka cita terpancar dari wajah para jemaah serta keluarga yang telah menanti sebulan lamanya.
Ucapan selamat patut dihaturkan kepada para tamu Allah yang telah berhasil menunaikan rukun Islam kelima.
Ibadah haji telah ditunaikan. Gelar haji mabrur resmi disandang.
Namun, dibalik semua itu terbersit sebuah kegelisahan yang tak kunjung menemukan jawaban.
Kita semua tahu, setiap tahun, jumlah jemaah haji asal Indonesia selalu mengalami peningkatan.
Logikanya, semakin bertambahnya jemaah haji, maka akan semakin baik kondisi bangsa ini.
Karena ibadah haji bertujuan untuk membentuk individu-individu yang saleh dan memiliki kadar keimanan yang tinggi.
Tapi, fakta berbicara lain. Peningkatan jumlah jemaah (termasuk Kobar) justru tidak memiliki korelasi dengan kehidupan sosial.
Yang terjadi justru sebaliknya.
Semakin tahun, kondisi bangsa ini semakin terpuruk.
Untuk Kobar saja, lebih dari 11 ribu KK hidup dibawah garis kemiskinan.
Tak hanya itu. Kehidupan ekonomi masyarakat semakin tercekik oleh kenaikan harga sembako dan kelangkaan BBM.
Itu belum termasuk bencana banjir di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menelan korban jiwa maupun harta dalam skala besar.
Memang, bencana yang terjadi tidak ada kaitan dan bukan kesalahan para jemaah.
Namun, penulis hanya ingin mempertanyakan seberapa besar peran para haji mabrur dalam membawa perubahan sosial kearah yang lebih baik.
Dengan kata lain, sejauh mana energi ketaqwaan yang dimiliki individu dapat membawa kebaikan bagi masyarakat sekitar?
Penulis bukan ahli agama. Tapi, dari ceramah para ustad, penulis jadi tahu bahwa ciri-ciri orang yang memperoleh haji mabrur adalah menunjukkan perilaku yang lebih baik dan terpuji dari sebelumnya.
Penulis khawatir jangan jangan energi ketaqwaan itu baru dirasakan pribadi jemaah bersangkutan.
Semisal rajin melaksanakan ibadah sholat dan puasa termasuk ibadah sunahnya.
Ini yang sering terlihat dan penulis jumpai dalam kehidupan.
Namun, jarang terdengar ada jemaah haji dari kalangan pejabat yang profesional dalam bekerja, pengusaha yang dermawan, atau pedagang yang jujur dalam usaha.
Yang muncul kepermukaan justru pejabat a atau b yang bergelar haji ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena korupsi atau menerima uang suap.
Atau pengusaha yang pelit menyisihkan harta untuk keperluan sosial keagamaan.
Sampai-sampai panitia pembangunan mesjid harus bekerja keras meminta sumbangan di pinggir jalan karena minimnya dana yang tersedia.
Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi predikat haji para jemaah.
Karena memperbaiki kondisi bangsa tidak hanya di pundak para jemaah. Namun, menjadi tugas seluruh komponen.
Tak peduli sudah haji atau belum.
Penulis hanya berkeinginan agar energi ketaqwaan tidak hanya dinikmati para jemaah haji. Namun, dapat membumi dan menjadi nafas dalam membangun kesalehan sosial.
Yakni sebuah kesalehan kolektif, yang teraplikasi dalam tindakan nyata dengan membantu sesama.
Sehingga energi ketaqwaan tidak hanya terpenjara diatas sajadah atau dinding mesjid.
Namun, telah hadir dan mampu dirasakan pada setiap ruang kehidupan. Di pasar ada taqwa, di kantor ada taqwa, di sekolah ada taqwa, di tempat umum ada taqwa. Di mana mana ada taqwa.
Di tengah-tengah kehidupan yang serba materialistis seperti sekarang ini, kita merindukan jemaah haji dari kalangan pejabat yang peduli dengan nasib rakyat kecil, pengusaha yang ringan tangan, dan pedagang yang tidak mengurangi timbangan.
Inilah hakekat haji mabrur dambaan umat.
Pertanyaan, kapan hal itu diwujudkan?
Sekarang, besok, atau kapan-kapan.
Jawabannya kembali kepada diri kita masing masing.



Andri Saputra
Wartawan Borneonews

Selasa, 01 Januari 2008