Minggu, 09 Desember 2007

Kolom Mimbar

Hutan TNTP: 'Not for Sale!'

Sampai tulisan ini disusun, Konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC) ke-13 di Nusa Dua Bali masih berlangsung. Topik utama yang di bahas seputar pemanasan global akibat emisi gas karbon dan berkurangnya luasan hutan.
Delegasi Indonesia sendiri telah menawarkan 'dagangannya' yang bernama Reduce Emissions from Deforestation and Degradation (REDD).
Inti dari konsep ini adalah supaya beban untuk menjaga kelestarian alam tidak hanya dipikul oleh negara berkembang sebagai pemilik hutan. Namun, haruslah menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat dunia.
Konsep ini menawarkan kompensasi negara negara maju sebagai penghasil emisi karbon kepada negara negara berkembang selaku pemilik hutan yang memiliki fungsi penyerap karbon termasuk Indonesia.
Sederhananya, ada proses jual beli jasa penyerap karbon antara negara maju dengan negara negara berkembang.
Suka tidak suka, Provinsi Kalimantan Tengah akan terkena imbas dari kebijakan REDD.
Pasalnya, Kalteng memiliki hutan lindung Taman Nasional Tanjung Puting yang potensial sebagai penyerap karbon.
Kepala Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) Yohanes Sudarto mengatakan TNTP memiliki potensi penyerapan karbon sebesar 53.204.949 ton per tahun. Jika standar karbon menurut ITTO dan World Bank adalah US$ 10/ton, maka potensi karbon pertahun mencapai US$4,8 triliun.
Hmm, sebuah angka yang fantastis bagi Kabupaten Kobar yang hanya memiliki APBD sekitar Rp500 milyar per tahun.
Secara prinsip, Teras menyetujui praktek penjualan karbon yang dibahas dalam konferensi tersebut.
Kalaupun ada masalah, hanya menyangkut mekanisme penjualan dan bukan pada praktek penjualan itu sendiri.
Sepintas, praktek jual beli karbon akan menguntungkan negara berkembang sebagai penjual jasa.
Di tengah-tengah keterbatasan dana dan SDM, dana kompensansi akan sangat membantu pemerintah dalam menjaga kelestarian hutan di TNTP yang terus dibabat.
Namun, jika dikritisi secara mendalam praktek jual beli karbon pada hakikatnya bentuk penjajahan baru negara maju di bidang lingkungan.
Karena dengan memberikan kompensasi, sama artinya memberikan negara-negara maju power (kekuatan) untuk mendikte pemerintah dalam mengelola hutan termasuk yang ada di TNTP.
Ekstrimnya, pemerintah akan kehilangan kedaulatan dalam mengelola hutannya.
Karena setiap kebijakan yang diambil haruslah mendapat restu dari negara-negara pembeli jasa.
Kondisi ini secara otomatis akan mengancam kearifan lokal dan mata pencahrian masyarakat adat hidup di sekitar hutan.
Bahkan, sebelum adanya REDD, pemerintah sudah lebih dahulu bertindak otoriter dengan melarang para petani membuka lahan dengan membakar.
Padahal, kebakaran yang terjadi tidak murni disebabkan aktivitas pembukaan lahan. Melainkan, karena ditunggangi oleh kepentingan 'pihak ketiga.'
Di sisi lain, praktek jual beli karbon hanya memberikan legitimasi kepada negara negara maju untuk tidak menurunkan emisi gas karbon dan terus mengumbar polusi.
Dengan menerima dana kompensasi, nilai tawar negara negara berkembang (termasuk Indonesia) menjadi lemah di mata negara-negara maju.
Pak Bupati, Pak Gubernur : TNTP not for sale!

Andri Saputra, Jurnalis, alumnus Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan YLH Yogyakarta.
Borneonews/10/12/2007

Tidak ada komentar: